Membaca 4 notes milik pak Ari Perdana dan comments dari temen2 beliau tentang gambaran perjuangan mahasiswa tahun 1998 era reformasi sambil sesekali bercermin akan diri saya sendiri dan mungkin teman2 di sekitar saya, 1 hal yang saya pikirkan "apa yang sudah saya lakukan ketika saya seumur mereka saat masa itu?". Cukup membuat merinding dan terkagum-kagum sendiri bagaimana senior-senior kala itu punya perjuangan hebat yang mereka upayakan dan mereka tau persis apa yang mereka perjuangkan hingga layak berkorban.
Mei 1998, saya hanya anak bocah berumur 10 tahun yang sangat kesal karena perayaan ulang tahunnya di bulan itu tidak bisa dirayakan di restoran tempat kami sekeluarga biasa makan. Kata papa saat itu " kita gak bisa keluar, lagi rusuh! ntar mobil kita dibakar". terus terang saya gak begitu mengerti kondisi apa yang terjadi saat itu, memang di Tv terlihat semuanya sangat ramai diluar sana, dan yang saya tahu sebuah toko swalayan kecil di dekat rumah saya yang biasa kami datangi sudah hangus terbakar saat itu.
Saya tidak bisa membandingkan apa yang saya dan para senior saya itu lakukan dimasa itu, kami berada pada dimensi umur yang berbeda. Yang saya pikirkan adalah apa yang saya sudah saya lakukan sekarang ketika saya seumuran mereka, berada pada tingkat pendidikan yang sama dan kuliah di kampus yang sama.
Saya berpikir, bahwa saya dan lingkaran teman-teman disekitar saya adalah contoh anak muda masa kini yang egois. Semuanya lebih baik saat ini, kami punya fasilitas hotspot yang membuat kami betah nongkrong di kampus sambil menikmati layanan facebook, handphone adalah barang yang lazim dimiliki bahkan lebih dari 1 Hp per orang, setiap anak sibuk dengan tentengan laptopnya atau bermain seperti autis dengan blackberry nya. Saya sendiri lebih senang sibuk dengan tugas-tugas kuliah demi kepentingan pribadi saya sebagai mahasiswa, bersenang-senang dengan kegiatan organisasi, ribut membicarakan siapa menggebet siapa di kantin setiap makan siang, atau sesekali memanfaatkan jatah absen untuk nonton atau karaokean. see, saya sadari, saya termasuk mahasiswa egois..
Tidak pernah tertulis dalam agenda kerja saya (agenda yang seolah-olah sibuk tapi begitu saya timbang-timbang ternyata saya bukanlah mahasiswa produktif)untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kalangan yang lebih luas bukan untuk diri saya sendiri seperti yang selama ini saya lakukan.
Melakukan aksi seperti temen2 BEM UI lakukan ketika merasa tidak "klop"dengan kebijakan pemerintah? jelas saya tidak punya cukup nyali melakukan itu, dan saya lebih senang membaca progress dari masalah-masalah yang mereka ributkan itu dari Tv atau koran untuk kemudian diskusi singkat dengan teman2 disela-sela obrolan tentang pacar masing-masing sambil seperti mengejek mereka yang turun aksi " lahh ngapain teriak-teriak di jalan, kalo emang merasa tuntutannya jelas mending bikin kajian aja, bikin petisi atau rekomendasi sampaikan dengan cara yang intelek"(meskipun kami sendiri juga gak punya cukup otak dan keinginan untuk melakukan cara yang kedua ini).
kata papa,"pergerakan macam mei 1998 itu ada timingnya py..gak bisa dibuat2, jika saatnya meletus pasti meletus..dan senior2 kamu itu yang kebagian jatahnya dulu untuk berjuang".
Saya tidak iri, pada momentum yang didapatkan senior-senior saya dalam hal pergolakan mei 1998, saya iri, kenapa saya tidak punya naluri seperti mereka, untuk kritis melihat masalah, berani mencari solusi yang bermanfaat bagi kalangan luas bahkan negara, dan setidaknya ikhlas menanggalkan kepentingan pribadi dan keegoisan mereka untuk sesuatu hal yang justru berbahaya bagi mereka. Disamping mereka juga memiliki kualitas yang juga baik: beberapa nama yang saya tahu menempuh pendidikan hingga s3 di luar negeri dan kerja di tempat-tempat dambaan kami semua.
Yang saya lakukan mungkin cuma "embel-embel" dalam kehidupan:kuliah alhamdulillah untungnya saya tidak bodoh, bikin tugas, masih syukur bisa ngurus organisasi, jalan-jalan ngabisin duit orangtua,dan sibuk mengupload foto dan memberi komen facebook. saya ragu apakah saya dapat menjadi "sesuatu" atau "seseorang" dengan hanya menjalani aktifitas "embel-embel" ini.
Betapa saya merasa rugi, melewatkan tahun-tahun di bangku kuliah hanya dengan rutinitas "embel-embel"ini, dan lagi kualitas aktifitas "embel-embel" ini tidak bagus- bagus amat terjadi pada saya, yahh lumayan IP masih diatas 3, alhamdulilah diberi kepercayaan memimpin himpunan meskipun saya juga masih ragu apakah saya bisa membawanya jadi lebih baik, sibuk nongkrong disana-sini juga gak jadi gaul-gaul amat pacar aja gak dapet2(curlong sekalian), yahhh jika saya menrik kesimpulan:hidup saya kurang berkualitas, atau mungkin saya mahasiswa yang tidak berkualitas..entahlah, yang saya tau saya masih menyimpan banyak ketidakpuasan akan diri saya sendiri masih sedang dalam perjalanan panjang untuk berusaha memenuhi kepuasan itu, semoga saja waktu saya cukup panjang untuk itu semua..
5 comments:
Hap, gw stuju banget ama pernyataan bokap lo yang bilang kalo pergerakan mahasiswa itu ada timingnya, gak dibuat-buat. mei 2008 kemarin mahasiswa mencoba menggunakan mementum 10 Tahun reformasi dengan melakukan pergerakan untuk menuntut berbagai hal yang mereka anggap menyimpang. dan lo tau hasilnya?? Nol besar!! Jauh dari ekspektasi orang-orang
Yang kedua: Lo sadar dan yakin gak Hap kalo pergerakan yang selama ini dilakukan oleh anak-anak BEM adalah murni pergerakan kaum minoritas?? Banyak juga yang pergerakan mereka yang ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Mungkin bagian yang ini lo bisa langsung tanya jelasnya ama gw.
Ketiga adalah: Disaat lo mengikuti LKTM atau sejenisnya, membantu orang-orang sekitar, atau mengikuti perdebatan siapa calon pemimpin negara ini, berarti lo udah menjalankan fungsi social control dan agent of change seorang mahasiswa. Gak harus turun kejalan seperti banyak orang yang lakukan..
Keempat: Siapa bilang semua aktifis mahasiswa tahun 98 semuanya berhasil?? Sukses S3 hingga keluar negeri. Angkatan yang dibawahnya dan diatasnya juga banyak. Kita juga mampu koq. Namanya hidup Hap, pasti ada yang berhasil adapula yang gagal.
The last but not the least: Fenomena fesbuk/blekberi tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita yang serba dinamis. Mau hidup ya dinamis. Perkembangan teknologi hendaklah disikapi secara arif dan bijaksana.
oke sus..long and great comment!
yang pertama:gw juga setuju
yang kedua: gw tau itu, tapi gw sendiri gak yakin hanya mendengar desas desus dan dugaan-dugaan suudzon(prasangka buruk) gw aja. ada informasi serunya gak sus??mau..
yang ketiga:itulah jalan yang gw pilih sus, tapi sesekali gw suka merasa alasan gw seperti mencari aman aja. bilang aja gw emang gak berani makanya ngeles dengan membuat perubahan melalui jalur2 yang menurut gw intelek. padahal sebenernya prestasi gw juga nol besar sus..
yang keempat:gw mencoba membandingkan 2 sisi kehidupan mereka aja sus, disatu sisi mereka punya perjuangan besar, disisi lain kehidupan akademik mereka meskipun saat kuliah S1 rada gak lancara toh selepasnya mereka berhasil..soal kita mampu apa enggak sus, we still have to fight for that..
last comment :gw termasuk yang rada keranjingan fb dan berhubung gak punya BB maka, keautisan gw rada gak segitu besranya..tapi setidaknya banyak hal positif dan manfaat yang bisa gw ambil dari menghabiskan waktu berfesbukan,hehe
Cerita yang kedua tunggu aja dari gw. Ini bukan sekedar desas-desus! Gw berani sumpah ini original.
Alasan ketiga menurut gw gak pragmatis koq. Artinya begini. Semuanya lebih berharga ketika anak les yang lu ajarin bisa jadi tunas bangsa kelak dikarenakan ajaran2 dari lo, termasuk ajaran moral juga. Daripada lo harus mati diujung timah panas karena menuntut apa yang gak lo mengerti. Alternatif lainnya mungkin lo udah ngejalanin.. Ada dialog interaktif di TV, nulis di blog, atau diskusi kajian yang outputnya bisa jadi rekomendasi ke pemrintah. kemungkinan didengar?? 50-50. Sama aja dengan demo-demo.
Keempat: Setelah berbincang dengan Wisnu Trihatmojo, fenomena fesbuk dan blekberi adalah gejala creative destruction. Artinya teknologi yang baru menghancurkan teknologi yang lama. Termasuk blog yang gw cintai ini....
we walk on our own track and choose our own way..
jalan mereka berbeda, dan beginilah cara kita menjalani hidup..semoga kita memiliki ujung yang indah ya sus di akhir perjalanan menjadi mahasiswa dengan aktifitas yang mungkin "embel-embel" tapi merupakan hal yang penting bagi kita
Kalo mendasarkan kesuksesan dari kekritisan kiranya gak tepat.. Kritis buat nyumbang pembangunan, itu benar.. meski kritis meminta hal dalam diri sebagai bentuk pelampiasan atas kegelisahan.. sayang kritis tanpa pikir panjang yang spertinya bagus, terlalu mendikotomikan kehidupan, menghakimi, tanpa menuntaskan alternatif masalah. Buktinya, setelah mereka akt'98 pada kelar, rata-rata jadi individualis.. tidak bersama-sama lagi. karena nasib dicari sampai nyaman.
Sejarah memang sombong, dan butuh pengakuan. menginsyafi semua itu tidak perlu mbuat diri menjadi inferior...
Post a Comment