Monday, October 05, 2009

Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara (?)

Menumpang kapal ferry adalah sebuah ritual yang akrab sekali bagi saya yang berkampung halaman di tanah sumatera, setidaknya 1 kali dalam setahun. Pelabuhan Merak-Bakauheni, kedua daerah ini adalah pusat penyebrangan dari pulau jawa ke pulau sumatera atau sebaliknya, selain pelabuhan tanjung priok tentunya.

Penduduk merak dan daerah bakauheni, sebagian besar bekerja sebagai pedagang di sekitar pelabuhan baik pedagang asongan keliling ataupun mereka yang memiliki toko di darat hingga yang berjualan di atas kapal, sisanya banyak yang bekerja sebagai supir angkutan travel, bis atau pegawai pelabuhan. Entah kenapa kebanyakan penduduk yang tinggal di kedua pelabuhan yang ramai ini adalah masyarakat yang berada di golongan ekonomi menengah-kebawah, dan condong kearah miskin kebanyakan. Saya pikir, untuk mereka yang tinggal di dekat pelabuhan yang ramai seperti itu setidaknya bisa memiliki penghasilan yang cukup memadai dari kegiatan perdagangan, usaha penginapan atau usaha transportasi darat yang menghubungkan wilayah pelabuhan dengan pusat-pusat kota.

Dengan kondisi keluarga yang miskin yang saya pikirkan pertama kali adalah nasib anak-anakyang hidup dari lingkungan dan keluarga miskin tersebut. Benar saja, adalah sebuah pemandangan akrab bagi saya, jika telah naik diatas kapal dan melongok kebawajh kapal sebelum kapal mulai berlayar, saya dapat melihat kurang lebih 8-10 anak kecil seumuran 7- 15 tahun berenang merapat di badan kapal. Sungguh bukan karena mereka hobby dan mahir berenang lantas memamerkan keahlian berenangnya kepada penumpang kapal. ini lebih kepada desakan kebutuhan perut dan mungkin cita-cita untuk sekolah tinggi. Ya, anak-anak kecil itu ribut berteriak pada penumpang kapal untuk melemparkan uang koin ataupun kertas ke air, sehingga mereka bisa berenang mengejar uang tersebut dan mengumpulkannya.

Miris memang, melihat anak kecil yang seharusnya sedang asik duduk di bangku kelas sambil belajar bagaimana mengucapkan "nama saya budi" dalam bahasa inggris ternyata malah bermain-main dengan maut di pinggir pelabuhan hanya demi mengejar kepingan uang logam senilai Rp 200 atau Rp 500.
"Fakir miskin dan Anak Terlantar dipelihara oleh Negara". omong kosong! jika melihat banyak kenyataan di lapangan, anak-anaka pelabuhan merak-bakauheni hanya potret kecil dari nasib anak-anak keluarga miskin atau terlantar di indonesia. Ibukota Jakarta saja adalah kumpulan pengemis-pengemis cilik yang tinggal di kolong jembatan atau emperan-emperan toko yang keluar masuk bis kota untuk makan saja, belakangan dulu kalo bicara soal pendidikan.

Kota lainnya? sama saja. Bandung, si "Paris Van Java", di seputar factory outlet yang berjejer di daerah Jl.Riau Bandung,saya melihat contoh nyata dari apa yang diajarkan di kelas kemiskinan "economic gap" yang bisa ditunjukan melalui gini koefisien. Di satu sisi, wanita-wanita kaya dengan manisnya masuk dari satu FO ke FO lainnya dengan tentengan tas belanjaan yang saya yakin pasti berat, di lain sisi, anak-anak seumuran sekolah dasar menawarkan jualan mereka, batu-batu ulekan sambal yang mereka bawa di bahu mereka.

Kemudian kemanakah peran negara yang katanya akan "memelihara" mereka?saya terlalu malas untuk mencari tahu berapa bagian dari anggaran belanja pemerintah yang digunakan untuk konteks "memelihara anak-anak terlantar dan miskin". Namun setidaknya porsi pengeluaran untuk pendidikan bisa dimaksimalkan dan pengeluaran anggaran negara untuk hal-hal non esensial seperti pelantikan anggota DPR bisa dialihkan untuk ha-hal fundamental seperti memelihara anak-anak miskin tersebut,aset negara di masa depan.

No comments: